Pages

Wednesday, January 25, 2012

Mengurai akar konflik Buruh dan Pengusaha


Miris kalau saya baca berita-berita di media mengenai konflik ini,  secara politis aspirasi  golongan pekerja ini memang tidak significant, beberapa periode pemilu beberapa partai mengatas namakan kaum pekerja bisa saya katakan tenggelam di antara pemain lama. Anda  ingin tau kenapa ? jawabannya bahwa sektor ekonomi formal hanya menarik 30% angkatan kerja, dan 70% bekerja di sektor informal ( Bird dan Suharyadi, 2002; Basri, 2008 ),  bahkan dari total 30% pun itu belum secara utuh masuk ke dalam satu wadah partai. Bukan rahasia lagi,  UU  No.21 tahun 2000 tentang  Kebebasan berserikat di Indonesia, selain menjadi anugerah, undang-undang ini menjadi bencana karena buruh terpecah-pecah dalam berbagai serikat yang  tentu saja akan menyulitkan  saat menkonsolidasikan kekuatan.

Namun, terlepas dari makna politik perwakilan di legeslatif, terbukti kekuatan buruh  mampu menjadi  kekuatan besar  “parlemen jalanan”.
Kembali ke kata “ miris “  tadi , mulai akhir 2011 hingga awal tahun ini,  tidak henti-hentinya  aksi-aksi demo buruh dengan  issue utama seputar  penetapan  nilai  Upah Minimum Kabupaten/Kota ( UMK ). Kenapa  saya katakan miris, kekuatan besar parlemen jalanan ini selalu muncul menjelang akhir hingga awal tahun. Hampir setiap tahun kita melihat ini.  Perjuangan mereka untuk mendapatkan kenaikan  nilai upah minimum mulai dari 100 hingga 300 ribu-an  bagaimanapun  efek sampingnya  sepenuhnya saya  hargai.  Memasuki dunia kerja 14 tahun yang lalu, saya mulai dari lini terbawah,  pengalaman dalam berinteraksi sosial dengan banyak keluarga dikalangan buruh di Tangerang, membuat gambaran nyata kehidupan mereka. Sampai saat inipun saya masih belum mengerti dengan  Gaji  take home pay 1,5 juta-an dari seorang laki-laki  kepala keluarga dapat membiayai  keluarga kecil yang terdiri dari seorang isteri dan 2 orang anak, terutama dalam konteks  pemenuhan akan kebutuhan dasar seperti  perumahan, makan, kesehatan, dan pendidikan yang layak.  Anda ingin bukti ? silahkan kunjungi kantong – kantong  pemukiman pekerja di tangerang, mulai dari daerah  Pasar kemis, Jatake, Sangiang, dll, belum kota – kota industri seperti Bekasi, Cilegon, Surabaya, dan banyak daerah lain.  Di titik ini, saya sangat memahami  alasan mereka, akhir-akhir ini turun  ke jalan . 

Ini adalah artikel yang tersulit  yang pernah saya tulis,  jalan keluar  dari sudut pandang supra struktural/kebijakan negara  hampir saya katakan “ impossible “, karena negara maju pun masih mengalami masalah ini.  Ok, saya akan bahas singkat saja, dan  jujur saya mual melihat benang kusut ini.  Sejak REPELITA III, tahun 1979 – 1984 dst, pemerintah menekankan pembangunan pada bidang industri padat karya, bahasa kerennya pertumbuhan sektor riil untuk membuka lapangan kerja melalu penanaman modal asing, hingga sekarang.  Pertumbuhan sektor industri  menyebabkan migrasi  besar – besaran dari  daerah pedesaan ke kantong – kantong industri. Dari petani dan nelayan menjadi pekerja-pekerja pabrik, tentunya dengan kesiapan skill, knowledge, dan mentalitas yang ‘seadanya’.  Saat – saat manis  menjadi pekerja pabrik berangsur-angsur berubah . Sejak  beberapa sektor sudah memasuki pasar bebas,  management  dengan susah payah mengendalikan keseimbangan keuangan  perusahaan,  tuntutan akan profit maksimal dengan biaya  operasi minimal, membuat  level manager hingga direktur keluar masuk ICU terkena serangan  Stroke.  Sialnya pemerintah juga mengakui bahwa  inefisiensi dalam pelayanan publik, infrastruktur, regulasi menyebabkan perusahaan beroperasi dengan biaya relatif tinggi (baca link berikut: http://bataviase.co.id/node/239408 ). Tidak cukup disitu lho ya, faktor eksternal global mulai dari harga minyak dunia,  masuknya produk impor murah,  keamanan jalur  distribusi internasional , dsb semakin menambah tekanan  pada perusahaan.  Kondisi yang tidak terprediksi dan tuntutan akan profit,  terkadang  memposisikan Management  untuk  melakukan strategi jangka pendek mengikuti periode laporan Neraca perusahaan setiap tahun. Di situasi seperti ini, semua elemen  dalam Biaya Pokok produksi/ Cost of Good Sole menjadi perhatian utama, termasuk yang namanya Biaya Tenaga Kerja langsung.  Inilah pos penggajian pekerja di lapangan atau jika boleh saya sebut dengan istilah buruh.

Saat  pekerja menerima  gaji bulanan dari pos yang saya sebutkan tadi. Mereka langsung berhadapan dengan kondisi pasar.  Kita  menganut  sistem ekonomi pasar,  sebagian besar harga komoditas ditentukan oleh pasar. Teori Suplay – Demand  yang berlaku disini,  dan  perlu dicatat kita itu bangsa yang konsumtif,  ibaratnya  sistem ekonomi pasar  yang liberal ini bak mendapat tempat yang tepat untuk berkembang biak. Dalam sistem ini Pemerintah tidak menetapkan harga standard, paling banter mengendalikan harga lewat operasi – operasi pasar. Meskipun  Pak Hatta Rajasa menyebut dengan istilah  ekonomi pasar berkeadilan, tetap saja ini ekonomi pasar. Lihat link ini http://www.jpnn.com/read/2012/01/24/115118/Hatta-Dorong-Ekonomi-Pasar-Berkeadilan-

Saya  belum memahami dengan ide  Pak  Hatta,  terutama mengenai definisi keadilan? Sering seperti ini,  ungkapan – ungkapan pejabat publik kita kadang bersayap dan tidak jelas arahnya….

Cukuplah  ngebahas  bapak kita yang satu ini ya, kita kembali ke topik.
Nah disinilah masalahnya. Batas bawah pendapatan buruh yang coba dibatasi oleh nilai UMK dan lebih bersifat pada jaring pengaman sosial, dibeberapa case dirasa tidak mencukupi untuk memenuhi  kebutuhan hidup layak ( KHL ) yang notabene dikendalikan oleh pasar tadi.

Lantas, cukupkah kondisi ini di selesaikan dengan retorika politis ? atau  Pemerintah perlu minta bantuan pemuka-pemuka agama agar  umat lebih ‘menerima’ hidup ini dengan penuh rasa syukur dan apa adanya ? atau pemerintah menyarankan 2 anak cukup lewat KB, untuk mengantisipasi ledakan populasi dan tingginya angkatan kerja ?

He..he..he... sudah saya bilang, Complicated kan ? Jadi saya ulangi jika  kita mengharapkan jalan keluar  melalui kebijakan pemerintah, itu impossible, karena kita sangat tergantung pada investor dan  negara ini menganut sistem  ekonomi pasar dalam penetapan  sebagian besar harga komoditas.  Jadi sekali lagi  dalam konteks hubungan industrial  pekerja – pengusaha,  menurut saya sulit mengatakan pihak mana yang salah atau benar di kasus ini.
Mari kita berbicara solusinya, yaitu solusi manajerial internal perusahaan .

SOLUSI  MANAJERIAL  INTERNAL  PERUSAHAAN
Jalan keluar dari sudut pandang supra struktural/makro/negara/kebijakan pemerintah sangat sulit  diharapkan  hasil yang optimal, hampir di semua periode kepemimpinan di Indonesia, kita mengalami kondisi ini.  Saya melihat, dengan kembali  ke perusahaan dan memperbaiki kondisi ini dari dalam, akan memberikan hasil yang efektif, lagi pula jika ini dilakukan  oleh perusahaan-perusahaan lain, toh akan berefek makro juga kan, Cuma bedanya lebih bersifat Bottom-Up.

Hipotesa saya,  Penyebab konflik industrial dikarenakan management perusahaan ( Manager dan Direksi )  menerapkan strategi management yang tidak tepat.
Ada 3 pilar utama dalam perusahaan,  yaitu Marketing, Operation, dan Finance.
Laporan Keuangan perusahaan memberikan gambaran yang sangat jelas mengenai kinerja dan mendeteksi  masalah dari ketiga fungsi utama ini.

Pertama Laporan Keuangan yang berasal  dari laporan Rugi Laba / Income Statement . Laporan ini untuk mengetahui plus minus kegiatan operasional perusahaan, mulai dari nilai penjualan ( kinerja marketing ) , Harga pokok produksi  ( kinerja operation ), dan biaya-biaya lain ( Kinerja Marketing, operation )

Kedua  laporan Keuangan berdasarkan Laporan Neraca / Balance Sheet. Yang didapat dari laporan Neraca ini yaitu ; Baik buruknya pengelolaan asset,  perbandingan modal kerja dan modal operasional dibandingkan dengan investasi, jumlah hutang, besar hasil pengelolaan modal kerja, dan jumlah kas sisa yang dimiliki   ( Pramono, P.R, 2007, Membedah laporan Keuangan, PT. Gramedia, Jakarta, hal. 57 ).

Apapun  pencapaian kinerja perusahan, management wajib mengkomunikasikan dengan tepat pada seluruh karyawan hingga karyawan memahami strategi perusahaan. Bukan berarti  pencapaian profit yang tinggi,  berdampak langsung pada  naiknya besaran gaji. Jika share holder/pemilik saham, memutuskan untuk  menjadikan profit  sebagai modal, ini merupakan wewenang pemilik saham.  Tentunya dasar pertimbangan seperti ekspansi, trendpasar, kondisi perekonomian, dll harus  bisa dikomunikasikan tentunya dengan bahasa yang mudah dipahami. Jelas  untuk menangani kondisi ini, perusahaan harus memiliki team yang terdiri dari orang-orang yang tidak memiliki masalah komunikasi.

Saya itu kadang berpikir, apa sih susahnya  tetapin  besaran  batas gaji minimum diatas  UMK ? tidak perlu menambah beban pada harga pokok produksi.  Jika satu pekerjaan dikerjakan oleh 3 orang, pastikan bisa dikerjakan oleh 2 orang,  reduce 1/3 atau 30 ~ 33 % .  Dan gunakan  surplus ini untuk  mengelola struktur gaji batas bawah sampai  3 periode  ( tahun ) kedepan atau sebagai buffer. Kira-kira  10% per periode ( jika inflasi rata – rata di 6 % ), aman bukan ? masalahnya, perusahaan harus menyediakan uang pesangon  yang  angkanya  amit-amit besarnya, hitungan kasarnya 1/3 karyawan harus di PHK.  Mau dibiayai pakai apa, hutang tidak mungkin,  satu-satunya pembiayaan yaitu dari modal. Dengan mempertahankan orang –orang terbaik dengan  diimbangi  dengan pendapatan  minimum jauh diatas standard, dari sudut pandang  Human resources management, ini merupakan investasi ! Karyawan yang loyal dan berkomitmen tinggi menjadi  intangible asset yang tidak ternilai harganya. Untuk periode setelahnya, perlu dipertimbangkan untuk Re-enginering  atau upgrade teknologi ( Permesinan dan IT ) untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi.

Bagaimana dengan range kenaikan gaji untuk karyawan yang  gajinya diatas standard minimum ? Jawabannya satu, kenaikan gaji  berdasarkan performance / kinerja individu.  Lihat artikel saya mengenai  Management By Objective (MBO ). Sinkronisasi antara  penilaian kinerja individu secara objective dengan  mekanisme  penggajian akan lebih mudah diterima dan memberikan feed back yang logis dan terukur untuk memberikan kesempatan di periode kedepannya.

Tidak mudah  membuat korelasi antara peningkatan profit dan besaran  kenaikan gaji. Bagian produksi yang merasa sudah maksimal ( dan diakui secara data ) menghasilkan volume tinggi dan quality yang baik, ternyata dijual dengan discount gila-gilaan oleh team sales. Ujung-ujungnya profit tidak maksimal. Ini contoh kecil saja. Tapi pada kenyataannya dalam industri terutama manufacture proses berlangsung secara sequence ( berurutan ) secara total, seluruh divisi bekerja dengan saling ketergantungan dan tidak independent.  Tapi tetap saja,  jika perusahaan mendapatkan profit yang  baik, karyawan  bisa merasakannya. Cara yang terbaik  yaitu mekanisme pemberian Bonus ( diluar gaji ) jika target team tercapai.  Penetapan target  sifatnya sektoral  untuk setiap section atau sub divisi  dengan Balance score card ( BSC ) , Teorinya BSC ini digunakan untuk menampilkan kinerja di tingkat eksekutif, tapi kita bisa memodifikasi BSC ini untuk level Chief Section, dengan asumsi  kinerja Chief Section harus disupport  oleh semua elemen sesction itu sendiri.

Pendidikan  mempengaruhi  cara berpikir seseorang,  berikan karyawan Trainning yang memberikan kontribusi nyata dalam hal tata kelola keuangan. Ada kalimat bijak, “ manusia itu tidak pernah merasa cukup “, kunci sebenarnya yaitu bagaimana cara mengatur uang, jadi berikan pelatihan-pelatihan bagi keluarga karyawan tentang bagimana cara mengelola keuangan dalam rumah tangga.  Jauh lebih baik, jika perusahaan memberikan dorongan bagi pasangan karyawan untuk berwirausaha. Lho modalnya dari mana, Optimalkan peran Koperasi karyawan.  Agar terpantau oleh perusahaan, masukkan  tanggung  jawab ini kedalam lingkup kerja GA ( General Affair ). Tentunya tidak hanya  pelatihan diaspek keuangan, pelatihan bahasa, atau pelatihan praktis lainnya khusus bagi anggota keluarga karyawan akan meningkatkan ikatan emosional  antara pekerja, pengusaha, dan perusahaan secara keseluruhan. Bagaimana dengan perusahaan yang karyawannya 5000 atau diatas 10.000 orang.  Jawaban saya singkat, INVESTASI, dengan strategi yang tepat biaya pengadaan pelatihan-pelatihan ini bisa dilakukan seminimal mungkin. Salah satunya untuk inilah manager itu ada . Lagi pula jika perusahaan memiliki jumlah karyawan sedemikian besar, memiliki satu unit departemen trainning merupakan hal yang wajar.

Langkah diatas sangat tergantung pada performance  ditingkat Direksi dan Manager, untuk inilah mereka  digaji.  Yaitu mengelola semua resources / sumber daya perusahaan untuk mencapai  tujuan perusahaan.  Saya sangat yakin, dengan  strategi manajemen yang  tepat, konflik  yang timbul  di internal perusahaan lebih mengarah pada konflik yang positif,  yaitu konflik yang tercipta karena keinginan  dari seluruh elemen perusahaan  untuk memberikan hasil yang terbaik untuk perusahaan.

KESIMPULAN
Akhir kata, konflik  industrial yang terjadi  antara pekerja dan pengusaha  bisa diminimalkan jika  Level Management  (  Manager dan Direksi ) mengelola perusahaan dengan strategi yang tepat.

Tentunya tida semua case masalah industrial antara buruh dan pengusaha yang terkait dengan persoalan penggajian memiliki pola yang sama dengan ulasan saya diatas, ada juga beberapa case yang di picu oleh konflik eksternal perusahaan seprti keamanan regional, dan stabilitas politik lokal, seperti di Freeport, tentunya memerlukan campur tangan  pihak ketiga seperti pemerintah.


Semoga Artikel ini bermanfaat

6 comments: