PENDAHULUAN
April tahun ini, dengan alasan “ memperbaiki
kualitas layanan PLN “ rencananya pemerintah akan menaikkan Tarif Dasar Listrik dikisaran 10%, setelah itu
sudah menunggu kejutan lainnya, yaitu kenaikan harga BBM. Tidak hanya sebagaian besar rakyat yang mencak-mencak
dengan rencana ini, dunia industripun setali tiga uang. Baru beberapa bulan
bernapas setelah ribut penetapan UMK, sudah menunggu masalah lain didepan mata.
Tenang
…. ada pepatah, “ ada kemauan, pasti ada jalan”, saya sedikit mengerti
hitungannya, hitungan kasar rata-rata labor cost increase 10 %, plus perkiraan inflasi 2012 sebesar 5,5 %, terus ditambah kenaikan listrik 10%, dan efek domino kenaikan harga BBM yang
pastinya akan memicu tingkat inflasi dan kenaikan harga bahan baku, dan
supporting material, mulai dari ATK sampai Karton Box untuk packaging. Semua
ini pasti akan mengerek naik Harga pokok Produksi. Bagaimana dengan penjualan ?
Mungkinkah tingkat penjualan akan
menutup biaya produksi ? Ha..ha..ha.. belum tentu bro. Hubungan antara Tingkat
penjualan dan Harga Pokok Produksi (COGS) memiliki titik optimum. Jika melebihi
titik ini, disamping biaya pemasaran (marketing cost) mulai dari sponsorship,
iklan, hingga biaya entertaint yang aneh-aneh, kenaikan penjualan akan
mendorong biaya-biaya langsung menjadi ikut naik, akan diperlukan tambahan
pekerja langsung, bahan baku langsung, dan energi langsung. Seperti roler
coster, jika sudah mencapai titik tertinggi profit marginnya akan kembali
turun.
Mengapa
saya tadi bilang ‘tenang” ? Ya … karena kita harus berfikir dengan
tenang. Tenang merupakan lawan dari panik. Dan saya masih belum gila untuk membuat anda lebih panik lagi. Mari
kita bicarakan solusinya.
PROFIT
= PENJUALAN – BIAYA
Mari
kita simpel-kan persoalannya. Dari
rumus diatas, terlihat ada 3 cara untuk
meningkatkan profit.
1.
Naikan Penjualan, Biaya Tetap
2.
Penjualan Tetap, Turunkan Biaya
3.
Naikkan penjualan, Turunkan Biaya
Tolong
jangan lakukan sebaliknya, karena efeknya
tidak baik bagi kesehatan anda J
Konsep lean manufacture menggunakan cara
ke-2, Penekanannya lebih pada penguranan
biaya/cost melalui reduce waste, kendali
proses, dan continual improvement.
Saya menyukai
Lean manufacture, saya sarankan anda pelajari lebih detail. Sangat bagus untuk
industri manufacture. Inilah Solusi yang saya maksud. Cara ke-2, saya anggap
cara yang lebih optimal. Seperti yang saya sampaikan tadi, Volume Penjualan memiliki
nilai batas optimum, tapi jika berbicara tentang cost, mulai dari era RevolusiIndustri abad 18 hingga sekarang tidak ada habisnya, Aspek Managerial dan
Teknis terus berkembang untuk menemukan solusi-solusi penekanan biaya produksi.
Dan tidak ada satu ahli ekonomi-pun yang bisa mengukur batas optimumnya. Jika
tahun 2011 biaya produksi turun 5%, ada
peluang untuk menurunkankannya kembali di tahun ini sebesar 5%, begitu pula di
tahun depan, dan seterusnya. Karena Continual Improvement sudah menjadi bagian dari budaya perusahaan. Berbicara
continual improvent, tidak lepas dari alam berpikir manusia “ limmitless” tidak
terbatas, apa yang dianggap impossible, ternyata kebalikannya bukan? Sejarah membuktikan,
manusia mendarat dibulan, Ford membuat harga mobil terjangkau, pesawat melebihi
kecepatan suara, Keajaiban Internet, Menghidupkan dinosaurus dengan mengambil
DNA dalam darah nyamuk purba, Klonning, dan masih banyak lagi peristiwa yang
menggambarkan kehebatan berpikir dan bertindak dari Spesies yang bernama “manusia”.
Inilah peluang
kita. Optimalkan kemampuan seluruh
sumber daya manusia yang dimiliki untuk menurunkan biaya. Lupakan sejenak
mengenai konsep management, seperti Sig Sigma, Management by objective, dan berbagai turunan dari Lean Manufacture. Luangkan waktu anda
bersama saya, untuk fokus pada aspek “ manusia”.
Saya memiliki
cerita unik. Ini tejadi di perusahaan di daerah jawa Barat. Sebagai Response
dari krisis ekonomi ’98, perusahaan ini berkesimpulan cost saving adalah solusi. Setiap Section (1 tingkat dibawah
departemen) diwajibkan memiliki action
plan untuk cost saving, complete dengan biaya hingga perhitungan keuntungannya.
Manajemen memberikan dukungan yang luar biasa, hingga project ini menjadi gerakan
massal di perusahaan. Hampir semua orang membicarakan ini dan setiap section berlomba
untuk merumuskan ide terbaik. Mulai dari Personalia, IT, Produksi, Accounting,
Ware House, Delivery, Engineering. Tidak ada yang ketinggalan seingat saya,
semuanya dengan sadar mendukung project ini. Dengan tema cost saving yang tidak
dibatasi, asal berhubungan dengan section tersebut, di Halalkan. Ada ide untuk
mengurangi konsumsi listrik pada perangkat komputer dengan menstandarkan
setting screen saver, Merancang atap dari “Solar Lite” untuk mengurangi
penggunaan lampu disiang hari, penggunaan kembali barang-barang reject untuk
second grade, pembuatan mesin untuk mengurangi
tenaga orang, Memodifikasi mesin untuk mengurangi konsumsi spare part
import, Penggunaan lampu dengan “Balast” khusus untuk mengurangi daya listrik
hingga penggunaan kembali kertas bekas.
Setahun kemudian, sebagian dari program ini tidak berjalan dan tidak
terkontrol, setahun berikutnya seluruh program cost saving menjadi “dongeng”. Hebatnya lagi semua berjalan begitu alamiah,
sehingga tidak ada yang merasa harus mempertanggung jawabkannya. Manajemen
perusahaan ini hampir tidak kenal kata menyerah, beberapa tahun berikutnya,
bergulir project GKM, intinya masing-masing
Section dibentuk Grup, setelah mengidentifikasi masalah disectionnya, Grup
segera merumuskan Plan Perbaikannya, untuk kemudian dilaksanakan dan
dipresentasikan hasilnya dihadapan komite penilaian perusahaan. Setali tiga
uang, tiga tahun implementasi, setelah itu tidak terdengar lagi rimbanya.
Kesemuanya hanya menyisakan biaya project, tanpa tahu seberapa besar angka savingnya,
dan tidak jelas efeknya pada laporan rugi laba perusahaan.
Project-project
diatas memiliki dasar berpikir yang sama
dengan apa yang saya bicarakan sebelumnya. Yaitu Strategi untuk menekan Biaya produksi dengan mengoptimalkan kemampuan inovasi dan improvement dari seluruh sumber
daya manusia yang dimiliki. Tapi koq, kelihatan useless ya ? Dari sisi Laporan
Keuangan perusahaan saat itu, benar project dalam cerita saya tadi tidak
bermanfaat. Tapi saya selalu melihat dari sisi lain, pengalaman adalah Guru.
Fakta yang
mengejutkan, ternyata apa yang terjadi pada perusahaan dalam cerita saya, juga
dialami oleh sebagian besar perusahaan yang mencoba menerapkan saving cost
dengan melibatkan karyawan melalui ide-ide inovasi. Saya memang belum melakukan
Penelitian ilmiah. Akan tetapi terlihat seperti ada pola yang sama di antara
perusahaan-perusahaan ini.
BAGAIMANA
SOLUSINYA ?
Sub judul yang
tepat, lho lalu bagaimana solusinya? koq penjelasan panjang lebar tadi koq
nggak sinkron dengan omongan diawal !
Tenang … Saya
akan masuk ke intinya. Mengapa Project
Saving Cost tampak tidak relevan untuk menurunkan biaya produksi ?
Jawabannya singkat, Karena sumber daya
manusia yang dimiliki masih disibukkan dengan masalah basic yang terjadi sehari-hari.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan project saving cost, yang salah yaitu
penetapan sasarannya. Ada beberapa Step atau urutan yang terlewat.
Saya
ilustrasikan seperti ini : Urutan minum dengan gelas. 1) tangan kanan anda
bergerak kearah gelas, 2) menggapai gagang, 3) menggenggam, 4) mengarahkan ke
mulut, 5) menuang air ke dalam mulut
Karena Panic
dan secepatnya ingin melihat hasil
jangka pendek karena ditekan oleh direksi, project dalam cerita diatas sama
dengan ilustrasi saya, tapi dari step
ke-1 langsung loncat ke step ke-5. Tidak lebih sama dengan Hierarki Maslow. Kita harus melewati dan menyelesaikan setiap
tingkat, sebelum bergerak naik keatas.
Jika sumber
daya perusahaan anda masih dibukkan masalah-masalah basic sehari-hari, itu sama
dengan “survival” , anda masih berada
di level bertahan hidup. Dengan kondisi seperti ini, jangan harapkan orang-orang ini melakukan improvement untuk
masalah – masalah lain.
Saat pekerja
di lantai produksi bingung karena masalah produksi yang tidak tepat waktu,
pemakaian material selalu berlebih karena banyak waste, hasil produksi selalu
di Reject oleh bagian Quality Control inilah masalah basic sehari-hari yang
dihadapi staff produksi, inilah yang membuat mereka pulang selalu telat, dan
inilah yang membuat mereka mendapat mimpi buruk, hingga tidak bersemangat saat
masuk kerja dipagi harinya. Mengapa mereka harus berpikir menekan konsumsi
listrik ? Atau di bagian Engineering dipusingkan dengan tingginya frekuensi
kerusakan mesin, Output mesin yang tidak standard akibat pemakaian bahan baku
yang “murah meriah”, inilah yang menjadi masalah basic mereka, Nggak logic dong
kalau ide saving costnya “memodifikasi mesin untuk mengurangi pemakaian tenaga
orang”.
Anda bisa
lakukan apapun, hingga berinovasi atau melakukan improvement hingga melampaui
batas ( beyond the limmit ), tapi ada
step yang harus dilewati, yaitu pastikan anda tidak berada di level Survive
atau bertahan hidup.
Intinya tidak
ada yang instant, terkait dengan strategi, sebagai praktisi kita terbiasa
dengan istilah “Build” dan “ Developt” dibanding dengan “make”.
BAGAIMANA
MELEWATI TAHAP SURVIVAL ?
Mari kita
kembali mengingat pembahasan awal tadi, memang ada step yang tidak berurut,
tapi ada juga yang sudah tepat. Tahapan
berikut , dapat menjadi acuan :
1.
Manajemen menetapkan dan mendukung
sepenuhnya gerakan saving cost.
Secara
psikologis, alur komunikasi secara Top Down dan masif ( bersifat keseluruhan),
memberikan dampak psikologis yang sangat baik. Dengan menjadikan gerakan ini
sebagai salah satu fokus manajemen, memungkinkan digunakannya seluruh resources
yang dimiliki, terutama yang terkait dengan komunikasi dan Informasi.
2.
Manager Departemen, mengidentifikasi dan menetapkan
masalah – masalah basic yang dialami oleh bagiannya masing-masing. Identifikasi
masalah ini didapat setelah melakukan
observasi di lapangan dan menggali informasi dari level Supervisor, Grup
leader, dan karyawan.
3.
Setelah memetakan masalah di tingkat departemen
dan section, manager harus menyusun action plan secara total. Menyelesaikan
masalah di satu section secara satu persatu adalah kesalahan. Selesaikan
maslah-maslah basic ini secara bersamaan dengan mengerahkan seluruh sumber daya
yang dimiliki. Inilah yang dimaksud dengan multi tasking dan harus terus
dilatih dan dikembangkan, kemampuan ini mutlak dimiliki oleh orang dengan level
“leader”. Saya sangat takjub dengan
Diagram Pareto dan fish bone. Dengan
berpegang pada 5 faktor produksi ( manusia, material, metode, mesin, dan
Lingkungan kerja ) masalah-masalah basic bisa diuraikan kedalam akar masalah
yang lebih kecil.
4.
Manager membentuk 2 Grup secara bersamaan. Grup
I, terdiri dari Manager, Supervisor, Grup Leader/Kepala Shift. Grup II, terdiri
dari Grup Leader/Kepala Shift dan total
seluruh karyawan. Grup I melaukan meeting evaluasi setiap hari hingga seminggu sekali. Dan Grup
II, meeting evaluasi dan koordinasi selama 15-30 menit diawal jam kerja, setiap
Shift, setiap hari.
5.
Seluruh Grup fokus pada aktivitas perbaikan pada masalah-masalah
basic dengan action plan yang telah ditetapkan, dan disepakati. “Disepakati”
menjadi faktor yang cukup penting, kesepakatan ini didapat dari sosialisasi
action plan pada tahap awal. Sehingga
seluruh karyawan memahami permasalahan apa yang dihadapi dan tindakan
perbaikannya dari sudut pandang yang sama. Jangka waktu perbaikan tidak lebih
dari 3 Bulan. Jika berdasarkan data hasilnya belum optimal, Grup I harus
lakukan evaluasi terhadap action plan,
dan menetapkan target waktu perbaikan 1 bulan.
6.
Jika selama 6 bulan hasil perbaikan tidak optimal, begitu pula setelah 12 bulan menunjukkan hasil yang sama. Kemungkinan terbesar terjadi ketidak akuratan informasi dan salah analisa, karena keterbatasan skill ditingkat supervisor. Pertimbangkan untuk memperkuat fungsi supervisi. Sangat beresiko melakukan replacement ditengah kondisi seperti ini, jauh lebih baik jika melakukan recruitment untuk memback up supervisor. Dengan skill yang sesuai harapan, personel baru akan menambah kekuatan ( strengthness ).
Jika selama 6 bulan hasil perbaikan tidak optimal, begitu pula setelah 12 bulan menunjukkan hasil yang sama. Kemungkinan terbesar terjadi ketidak akuratan informasi dan salah analisa, karena keterbatasan skill ditingkat supervisor. Pertimbangkan untuk memperkuat fungsi supervisi. Sangat beresiko melakukan replacement ditengah kondisi seperti ini, jauh lebih baik jika melakukan recruitment untuk memback up supervisor. Dengan skill yang sesuai harapan, personel baru akan menambah kekuatan ( strengthness ).
PENUTUP
Sinergi antara Manager dan Supervisor harus
sempurna. Pada Tahap awal program Saving Cost, seluruh Resources perubahan
difokuskan untuk menyelesaikan masalah-masalah basic secara serentak selama 3
bulan, dan dlanjutkan dengan target setiap bulan jika 3 bulan awal belum
mencukupi. Jika project awal ini
berhasil, perusahaan sebenarnya sudah melakukan saving cost. Mustahil memasang
target maksimal di 3 bulan awal. Pasanglah target di level normal. Misal :
Target delivery maksimal 100%, aktual: 60%, memasang target angka 80% adalah
normal ( ½ margin ). Atau NCR target 5 x, actual 30x, target 3 bulan awal : 12
x. dsb. Pada tahap awal seluruh target
dan pencapaian harus berdasarkan data dan disajikan dengan angka sehingga
terukur dan mudah dimengerti.
Jika sudah melewati 3 bulan awal,
perusahaan anda sudah siap menerapkan metode-metode
improvement proses yang sudah familiar, misal TQM, 5S, Just In Time, Sig Sixma,
QCC, dll. Proses dalam menyelesaikan
masalah-masalah basic akan membentuk mentalitas karyawan, saya menyebutnya “mentalitas saving cost”. Diantaranya,
fokus pada hasil, merasa bertanggung jawab, merasa bagian dari Team, terbiasa
memecahkan masalah secara sistematis dan bertindak selalu berdasarkan data dan
fakta. Masalah-masalah basic timbul
karena sebagian besar karyawan tidak memiliki mentalitas seperti ini.
Anda bisa bayangkan, dari sisi Human
resources perusahaan akan memiliki kekuatan yang luar biasa, apapun metode
kerja dan standarisasi yang diterapkan, “mentalitas
saving cost” memberikan garansi pencapaian target perusahaan.
Good Luck
No comments:
Post a Comment